Pengabdian Dan Kesetiaan Mat Halil Untuk Persebaya
Mat Halil merupakan seorang pemain veteran yang pernah masuk dalam skuad Timnas Indonesia. Pemain kelahiran Surabaya, 3 Juli 1979 silam tersebut telah mendedikasikan hampir seluruh bagi Persebaya Surabaya. Abah Halil, begitu sapaan akrabnya, memulai karirnya sejak kompetisi internal Persebaya, satu era dengan Bejo Sugiantoro dan Uston Nawawi. Jika kebanyakan para pemain sepak bola sudah berbondong-bondong mengumumkan pensiun di usia hampir menginjak kepala empat, justru ia tetap survive mengisi skuad "Green Force". Baginya, usia bukanlah menjadi alasan untuk berhenti berkarir dalam dunia yang membesarkan namanya itu. Kecintaan Mat Halil terhadap klub kota Pahlawan ini sudah tidak bisa ditanyakan lagi. Membela dan memperkuat tim yang berjuluk "Bajol Ijo" merupakan cita-citanya sejak kecil. Oleh karenanya tidak lah terlampau mengherankan jikalau hampir sepanjang karirnya di dunia sepak bola habis diabdikan buat Persebaya. Bahkan saat mayoritas bintang Persebaya 1927, saat terjadi pendzaliman PSSI, memilih hengkang, Mat Halil satu-satunya orang yang tetap bertahan menjadi penghuni terakhir skuad Persebaya 1927.
Dalam perjalanannya, Mat Halil punya cara tersendiri untuk menunjukkan kesetiaannya. Abah tidak pernah peduli akan konflik dualisme Persebaya, termasuk eksistensi Surabaya United, beralih menjadi Bhayangkara, yang saat ini lebih aktif di kasta teetinggi sepak bola Indonesia. Selama masa sulit itu, ia memilih tetap bertahan di dan untuk Persebaya. Sebab baginya Persebaya asli merupakan klub yang sedang diperkuatnya, begitulah intuisi Abah Halil berkata. Bahkan saat perjalananya, Mat Halil pernah tidak digaji pun ia tetap berlatih dan bermain sukarela di sejumlah uji coba Persebaya. Kesetiaan Mat Halil terhadap tim sepak bola kebanggaan Bonek memang tertanam dan mengakar di mindset-nya. Seakan ia hendak berujar bahwa "saya mengawali karir di Persebaya dan menutup karir di Persebaya". Loyalitas demikian tidak berarti Abah Halil sepi dari lirikan klub lain. Berdasar karir sejarah, sudah terlampau banyak tim kasta tertinggi sepak bola Indonesia yang berminat meminangnya. Tetapi lagi-lagi ban kapten Mat Halil masih melekat teguh dengan berbalut cinta dan kesetiaan pada tim kota tanah kelahirannya tersebut.
Bagi Halil, Persebaya bukan hanya tempat mencari nafkah pesepak bola profesional. Lebih dari itu, Persebaya adalah simbol sebuah kehormatan dan kebanggaan. Halil tak pernah menargetkan sampai kapan berseragam hijau. "Sepanjang tenaga saya masih dibutuhkan saya selalu siap membela Persebaya", sebuah semangat idealisme yang memang di pegang kuat oleh seorang Mat Halil. Melihat loyalitas berikut militansi dari kesenioran Mat Halil inilah, kemudian dengan sadar menuntun penulis untuk mengatakan, bahwa sudah selayaknya menjadi pelajaran bagi generasi muda sepak bola Indonesia mengenai sepak bola yang bukan selalu hanya berbicara soal bayaran materi, melainkan sepak bola merupakan substansinya tentang cinta, kesetiaan, dan kebanggaan. Penulis teramat berharap dan berusaha agar kesenioran Abah Halil dapat menjadi mentorik bagi pemain muda Persebaya, terutama yang salah satunya merupaka anak dari seniornya sendiri, Bejo Sugiantoro.
Sang legenda menghabiskan karirnya berlandaskan cinta dan kesetiaan. Seluruh aktivitasnya di klub pahlawan berdasarkan pada sebuah bentuk dan perjuangan. Nyanyian-nyanyian suporter sebagai manifestasi dari kezetiaan Bonek yang tak ada habisnya, mungkin adalah balasan apresiatif akan dedikasi Abah Halil untuk klub kebanggaan. Sebuah bentuk penegasan, bahwa kharisma Mat Halil tidak perlu diragukan.
Dalam perjalanannya, Mat Halil punya cara tersendiri untuk menunjukkan kesetiaannya. Abah tidak pernah peduli akan konflik dualisme Persebaya, termasuk eksistensi Surabaya United, beralih menjadi Bhayangkara, yang saat ini lebih aktif di kasta teetinggi sepak bola Indonesia. Selama masa sulit itu, ia memilih tetap bertahan di dan untuk Persebaya. Sebab baginya Persebaya asli merupakan klub yang sedang diperkuatnya, begitulah intuisi Abah Halil berkata. Bahkan saat perjalananya, Mat Halil pernah tidak digaji pun ia tetap berlatih dan bermain sukarela di sejumlah uji coba Persebaya. Kesetiaan Mat Halil terhadap tim sepak bola kebanggaan Bonek memang tertanam dan mengakar di mindset-nya. Seakan ia hendak berujar bahwa "saya mengawali karir di Persebaya dan menutup karir di Persebaya". Loyalitas demikian tidak berarti Abah Halil sepi dari lirikan klub lain. Berdasar karir sejarah, sudah terlampau banyak tim kasta tertinggi sepak bola Indonesia yang berminat meminangnya. Tetapi lagi-lagi ban kapten Mat Halil masih melekat teguh dengan berbalut cinta dan kesetiaan pada tim kota tanah kelahirannya tersebut.
Bagi Halil, Persebaya bukan hanya tempat mencari nafkah pesepak bola profesional. Lebih dari itu, Persebaya adalah simbol sebuah kehormatan dan kebanggaan. Halil tak pernah menargetkan sampai kapan berseragam hijau. "Sepanjang tenaga saya masih dibutuhkan saya selalu siap membela Persebaya", sebuah semangat idealisme yang memang di pegang kuat oleh seorang Mat Halil. Melihat loyalitas berikut militansi dari kesenioran Mat Halil inilah, kemudian dengan sadar menuntun penulis untuk mengatakan, bahwa sudah selayaknya menjadi pelajaran bagi generasi muda sepak bola Indonesia mengenai sepak bola yang bukan selalu hanya berbicara soal bayaran materi, melainkan sepak bola merupakan substansinya tentang cinta, kesetiaan, dan kebanggaan. Penulis teramat berharap dan berusaha agar kesenioran Abah Halil dapat menjadi mentorik bagi pemain muda Persebaya, terutama yang salah satunya merupaka anak dari seniornya sendiri, Bejo Sugiantoro.
Sang legenda menghabiskan karirnya berlandaskan cinta dan kesetiaan. Seluruh aktivitasnya di klub pahlawan berdasarkan pada sebuah bentuk dan perjuangan. Nyanyian-nyanyian suporter sebagai manifestasi dari kezetiaan Bonek yang tak ada habisnya, mungkin adalah balasan apresiatif akan dedikasi Abah Halil untuk klub kebanggaan. Sebuah bentuk penegasan, bahwa kharisma Mat Halil tidak perlu diragukan.