Juara Tidak Lagi Penting
Leg kedua Piala Indonesia 2018/2019 antara PSM Makasar vs Persija Jakarta akhirnya akan digelar pada hari selasa 6 Agustus 2019 bertempat di Stadion Andi Mattalanta Matoangin, Makasar, Sulawesi Selatan. Ini adalah partai tunda dari laga yang seharusnya dimainkan pada tanggal 2 8 Juli 2019 di tempat yang sama.
Laga final leg kedua Piala Indonesia sendiri tertunda karena insiden pelemparan kepada bis yang mengangkut official dan pemain Persija oleh oknum pendukung PSM Makasar, sesaat setelah meninggalkan stadion pada latihan resmi satu hari menjelang pertandingan. Sejujurnya saya tidak ingin membahas mengenai insiden ini, karena insiden yang terjadi itu menurut saya sangatlah relatif. Sama halnya dengan kehidupan yang sejatinya dipenuhi oleh hal-hal yang tolak ukurnya sangat relatif. Besar, kecil, enak, hambar, cantik, ganteng, jelek, sakit, parah, berat, ringan, dan masih banyak lagi adalah contoh hal-hal yang tolak ukur penilaiannya sangat relatif. Tergantung siapa yang menilai, sudut pandang yang digunakan, dan apa alat pembandingnya. Begitu pula dengan insiden yang terjadi pada waktu itu. Seberapa bahaya teror itu? Disengaja atau tidak? Anak-anak atau orang dewasa yang melakukan? Atau seberapa besar dampak psikologis kepada korban dan seterusnya. Semuanya relatif. Oleh karena itu saya tidak tertarik sama sekali untuk membahas masalah ini. Mengapa? ya karena bukan itu poinnya. Poin pentingnya adalah telah terjadi teror yang secara langsung "mengancam" keselamatan pelaku sepak bola. Hal yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam sepak bola. Dalam regulasi manapun yang mengatur mengenai pertandingan sepak bola, insiden semacam ini tidak dapat ditorelir.
Kemudian siapa yang pantas disalahkan atas kejadian tersebut? Nah menarik untuk kita kaji terlebih dahulu, apa kira-kira titik awal dari gesekan arus bawah seperti yang terjadi di Makasar kemarin.
Menurut saya pribadi sentimen antar suporter, atau kepada tim-tim tertentu seperti yang terjadi di Makasar ini adalah efek domino dari ketidaktegasan Federasi, khususnya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan regulasi. Ambil contoh, sering terjadi perubahan aturan ditengah jalannya kompetisi. Pengurangan, atau bahkan penghapusan hukuman yang sudah diputuskan, dan diberlakukan. Serta pembiaran berkembang luasnya isu-isu negatif (juara setingan, atau juara liga bisa dipesan) tanpa adanya investigasi untuk mendapatkan status hukum yang pasti.
Beberapa contoh soal yang saya sebut diatas tadi membuat tidak terjadinya efek jera bagi mereka yang melanggar aturan, dan membuat terkesan adanya anak emas dalam sepak bola Indonesia. Hal tersebut diperparah lagi dengan banyaknya petinggi federasi yang memiliki keterkaitan dengan klub-klub tertentu. Membuat potensi terjadinya "conflict of interest" sangatlah besar. Seperti sebelumnya dalam setiap permasalahan sepak bola di Indonesia hal yang paling gampang untuk dilakukan adalah menyalahkan PSSI. Celakanya, faktanya memang tidak ada alasan lain untuk tidak menyalahkan PSSI. Jadi, komentar "ini salah PSSI" untuk setiap permasalahan yang terjadi dalam sepak bola Indonesia itu sudah menjadi hal yang lumrah, karena memang disanalah letak permasalahannya.
Yang tidak lumrah itu ketika mereka yang dulu mereka berada di ruang lingkup PSSI, kemudian sekarang (kebetulan) berada diluar federasi, dan oleh karena itu kemudian mengkritik buruknya kinerja PSSI, seakan-akan dia bukan bagian dari kebobrokan PSSI dimasa lalu. Komentar "provokativ" dari "orang-orang sakit" seperti inilah yang menurut saya sangat berbahaya bagi sepak bola Indonesia.
Saya pikir, pada prinsipnya setiap pesepakbola profesional siap bermain kapanpun, dimanapun, selama adanya jaminan keamanan bagi keselamatan mereka. Termasuk para pemain Persija dan juga PSM. Untuk kasus saat ini mungkin kejadian ini menimpa para pemain Persija, namun pada kesempatan yang lain bisa jadi akan menimpa para pemain PSM atau klub-klub yang lain.
Ini adalah partai final, dimana sudah barang tentu disini kredibelitas peyelengara dipertaruhkan. Saya yakin mereka tidak mau kehilangan muka, dan oleh karena itu pasti telah berkoordinasi dengan semua unsur terkait untuk memastikan agar pertandingan partai final nanti terselenggara dengan baik, lancar dan aman.
Bagi PSM dan masyarakat Makasar ini adalah moment yang mereka tunggu-tunggu setidaknya selama 19 tahun terakhir. Dimana setelah era Aji Santoso, Kurniawan Dwi Yulianto, Miro Balde Bento, Rony Ririn, Bima Sakti dkk gelar juara seperti enggan singgah ke kota Angin Mamiri. Mereka tentu ingin menghapus dahaga akan gelar tersebut. Apalagi partai penentu akan di laksanakan di markas mereka.
Motivasi anak-anak Macan Kemayoran juga tidak kalah tinggi. Gelar Piala Indonesia ini tentu akan melengkapi dua gelar domestik yang mereka raih musim lalu, sekaligus sedikit mengobati kekecewaan suporter mereka atas hasil minor yang mereka raih di Liga sejauh ini. Apalagi Piala Indonesia adalah satu-satunya gelar domestik yang belum ada dalam daftar koleksi trophy di lemari Persija Jakarta.
Sedang bagi sepak bola Indonesia, siapapun yang menjadi juara tidak lagi penting. Yang jauh lebih penting dan ditunggu-tunggu adalah, apakah setelah partai final besok akan muncul poros "rivalitas anarkis" baru dalam sepak bola Indonesia. Hal yang sudah tentu sama-sama tidak kita inginkan. Apalagi Persija dan PSM tidak memiliki sejarah permusuhan di masa lalu.
Laga final leg kedua Piala Indonesia sendiri tertunda karena insiden pelemparan kepada bis yang mengangkut official dan pemain Persija oleh oknum pendukung PSM Makasar, sesaat setelah meninggalkan stadion pada latihan resmi satu hari menjelang pertandingan. Sejujurnya saya tidak ingin membahas mengenai insiden ini, karena insiden yang terjadi itu menurut saya sangatlah relatif. Sama halnya dengan kehidupan yang sejatinya dipenuhi oleh hal-hal yang tolak ukurnya sangat relatif. Besar, kecil, enak, hambar, cantik, ganteng, jelek, sakit, parah, berat, ringan, dan masih banyak lagi adalah contoh hal-hal yang tolak ukur penilaiannya sangat relatif. Tergantung siapa yang menilai, sudut pandang yang digunakan, dan apa alat pembandingnya. Begitu pula dengan insiden yang terjadi pada waktu itu. Seberapa bahaya teror itu? Disengaja atau tidak? Anak-anak atau orang dewasa yang melakukan? Atau seberapa besar dampak psikologis kepada korban dan seterusnya. Semuanya relatif. Oleh karena itu saya tidak tertarik sama sekali untuk membahas masalah ini. Mengapa? ya karena bukan itu poinnya. Poin pentingnya adalah telah terjadi teror yang secara langsung "mengancam" keselamatan pelaku sepak bola. Hal yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam sepak bola. Dalam regulasi manapun yang mengatur mengenai pertandingan sepak bola, insiden semacam ini tidak dapat ditorelir.
Kemudian siapa yang pantas disalahkan atas kejadian tersebut? Nah menarik untuk kita kaji terlebih dahulu, apa kira-kira titik awal dari gesekan arus bawah seperti yang terjadi di Makasar kemarin.
Menurut saya pribadi sentimen antar suporter, atau kepada tim-tim tertentu seperti yang terjadi di Makasar ini adalah efek domino dari ketidaktegasan Federasi, khususnya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan regulasi. Ambil contoh, sering terjadi perubahan aturan ditengah jalannya kompetisi. Pengurangan, atau bahkan penghapusan hukuman yang sudah diputuskan, dan diberlakukan. Serta pembiaran berkembang luasnya isu-isu negatif (juara setingan, atau juara liga bisa dipesan) tanpa adanya investigasi untuk mendapatkan status hukum yang pasti.
Beberapa contoh soal yang saya sebut diatas tadi membuat tidak terjadinya efek jera bagi mereka yang melanggar aturan, dan membuat terkesan adanya anak emas dalam sepak bola Indonesia. Hal tersebut diperparah lagi dengan banyaknya petinggi federasi yang memiliki keterkaitan dengan klub-klub tertentu. Membuat potensi terjadinya "conflict of interest" sangatlah besar. Seperti sebelumnya dalam setiap permasalahan sepak bola di Indonesia hal yang paling gampang untuk dilakukan adalah menyalahkan PSSI. Celakanya, faktanya memang tidak ada alasan lain untuk tidak menyalahkan PSSI. Jadi, komentar "ini salah PSSI" untuk setiap permasalahan yang terjadi dalam sepak bola Indonesia itu sudah menjadi hal yang lumrah, karena memang disanalah letak permasalahannya.
Yang tidak lumrah itu ketika mereka yang dulu mereka berada di ruang lingkup PSSI, kemudian sekarang (kebetulan) berada diluar federasi, dan oleh karena itu kemudian mengkritik buruknya kinerja PSSI, seakan-akan dia bukan bagian dari kebobrokan PSSI dimasa lalu. Komentar "provokativ" dari "orang-orang sakit" seperti inilah yang menurut saya sangat berbahaya bagi sepak bola Indonesia.
Saya pikir, pada prinsipnya setiap pesepakbola profesional siap bermain kapanpun, dimanapun, selama adanya jaminan keamanan bagi keselamatan mereka. Termasuk para pemain Persija dan juga PSM. Untuk kasus saat ini mungkin kejadian ini menimpa para pemain Persija, namun pada kesempatan yang lain bisa jadi akan menimpa para pemain PSM atau klub-klub yang lain.
Ini adalah partai final, dimana sudah barang tentu disini kredibelitas peyelengara dipertaruhkan. Saya yakin mereka tidak mau kehilangan muka, dan oleh karena itu pasti telah berkoordinasi dengan semua unsur terkait untuk memastikan agar pertandingan partai final nanti terselenggara dengan baik, lancar dan aman.
Bagi PSM dan masyarakat Makasar ini adalah moment yang mereka tunggu-tunggu setidaknya selama 19 tahun terakhir. Dimana setelah era Aji Santoso, Kurniawan Dwi Yulianto, Miro Balde Bento, Rony Ririn, Bima Sakti dkk gelar juara seperti enggan singgah ke kota Angin Mamiri. Mereka tentu ingin menghapus dahaga akan gelar tersebut. Apalagi partai penentu akan di laksanakan di markas mereka.
Motivasi anak-anak Macan Kemayoran juga tidak kalah tinggi. Gelar Piala Indonesia ini tentu akan melengkapi dua gelar domestik yang mereka raih musim lalu, sekaligus sedikit mengobati kekecewaan suporter mereka atas hasil minor yang mereka raih di Liga sejauh ini. Apalagi Piala Indonesia adalah satu-satunya gelar domestik yang belum ada dalam daftar koleksi trophy di lemari Persija Jakarta.
Sedang bagi sepak bola Indonesia, siapapun yang menjadi juara tidak lagi penting. Yang jauh lebih penting dan ditunggu-tunggu adalah, apakah setelah partai final besok akan muncul poros "rivalitas anarkis" baru dalam sepak bola Indonesia. Hal yang sudah tentu sama-sama tidak kita inginkan. Apalagi Persija dan PSM tidak memiliki sejarah permusuhan di masa lalu.